Filsafat
dikalangan masyarakat kebanyakaan seringkali diidentifikasi serta difahami
sebagai sesuatu yang rumit,sulit, dan membingungkan bahkan menyesatkan!. Tidak
berhenti disana, filsafat seringkali disimpan sebagai sesuatu yang hanya layak
dan patut digeluti oleh orang-orang tertentu saja serta diidentikan
dengan orang-orang serius, pintar, memiliki IQ diatas rata-rata,
berkacamata tebal atau dengan kata lain ranah filsafat adalah ranah eksklusif.
Terlebih filsafat seringkali hanya dihadirkan untuk kalangan dan diperuntukan
kaum akademis saja, yang dituturkan oleh para profesor-profesor lawas dengan
sejumlah teori-teori rumit. Filsafat demikian menjadi semakin berjarak dan jauh
dengan hakikat filsafat pada dirinya sendiri; mencintai kebenaran!.
“dat
nen geen flosofie, naar allean filosoferen noet leren” (“kita bukan harus
belajar filsafat, melainkan berfilsafat”) kurang lebih demikian kata-kata yang
seringkali dikatakan oleh seorang Immanuel Kant. Apa yang dikatakan oleh Sang
Filsuf Jerman itu, kemudian dijabarkan oleh C.A. Van Peursen : bukan belajar
pengetahuan historisnya, tetapi belajar menjadi seorang filsuf. Maksudnya,
mempelajari filsafat tidak mesti terbatas hanya pada kajian macam-macam system
filsafat yang pernah muncul di sepanjang sejarah dunia pemikiran, akan tetapi
kita harus berpartisipasi dengannya, menceburkan diri kedalamnya. Kenikmatan,
kepuasan dan gairah filsafat tidak akan pernah jatuh begitu saja dipangkuan
kita tanpa berfilsafat. Dengan kata lain, tidak ada aturan bahkan larangan
untuk berfilsafat. Tiap orang berhak berfilsafat!.
Problematika dalam kehidupan manusia
akan selalu ada. Seiring bergulirnya waktu, beragam pula jenis-jenis
permasalahan manusia. Berkembangnya peradaban, meningkatnya kemampuan
teknologi, bertambahnya jumlah individu juga berdampak pada tumbuh
berkembangnya problematika kehidupan. Banyaknya permasalahan menyadarkan
pentingnya kemampuan berfilsafat guna menyelesaikan permasalahan. Mengapa
berfilsafat? Karena filsafat mengajarkan manusia untuk lebih bijaksana, cermat
menentukan sikap dan cerdas dalam mengambil putusan. Kemampuan berfilsafat
merupakan salah satu indicator utama seseorang dapat menentukan sikap terbaik
dalam menyelesaikan sebuah problematika kehidupan.
Filsafat adalah pemikiran akan
segala sesuatu yang ada secara luas dan mendalam. Berfilsafat berarti kegiatan
memikirkan segala sesuatu yang ada secara luas dan mendalam. Secara luas maksudnya
memikirkan segala sesuatu secara menyeluruh (komprehensif) dan objektif.
Filsafat tidak memikirkan sesuatu secara terbatas pada satu atau dua sudut
pandang melainkan dengan semua sudut pandang yang ada. Dengan memandang sebuah
persoalan secara komprehensif dalam artian proses pengambilan keputusan
dilakukan tanpa berpihak dan objektif, maka kemungkinan untuk menentukan
sikap terbaik semaik besar. Meskipun dalam realitanya sikap semacam ini agak
mustahil dapat dilakukan, karena ketika seseorang hendak mengambil sebuah
putusan maka ia akan dihadapkan pada keharusan menetukan posisi (standing
point) yang niscaya subjektif. Akan tetapi, setidaknya
dengan berpikir secara komprehensif dapat membantu seseorang untuk menentukan
putusan yang terbaik dengan konsekuensi yang dapat ditanggung dirinya dan semua
pihak.
Adapun berpikir secara mendalam,
artinya memikirkan segala sesuatu hingga ke akar-akarnya (radikal) atau sampai
permasalahan esensi dan substansinya. Filsafat tidak hanya memikirkan sesuatu
sebatas permukaan yang nampak, namun juga hingga akar atau substansi sesuatu
tersebut. Setiap problematika memiliki akar, sebab dan pokok persoalan. Dengan
mengetahui akar sebuah permasalahan, maka kemungkinan untuk menyelesaikannya
akan menjadi lebih mudah.
Sebagaimana telah disebutkan
sebelumnya bahwa filsafat adalah pemikiran akan segala sesuatu yang ada, maka
objek material dari filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Pengertian “ada”
menurut filsafat adalah “ada” secara indrawi, “ada” yang masih dalam pikiran,
dan “ada” yang berada dalam kemungkinan. Pengertian ini mengindikasikan bahwa
tidak ada yang namanya “tidak ada” dalam hidup ini. Ketika seseorang menyatakan
bahwa sesuatu itu tidak ada berdasarkan cerapan indrawinya, maka secara
bersamaan sesuatu itu telah menjadi “ada” di pikiran orang tersebut. Dengan
demikian, filsafat memiliki cakupan pembahasan yang sangat luas. Bahkan dapat
dikatakan bahwa tidak ada yang tidak termasuk sebagai cakupan pembahasan
filsafat.
Dalam filsafat, pembahasan “ada”
dibagi menjadi dua, yaitu “ada” nya itu sendiri dan “ada” secara khusus yaitu
segala sesuatu yang ada. Pembahasan mengenai “ada” nya itu sendiri secara umum,
dikenal dengan istilah ontologi yang secara sederhana dapat diartikan
ilmu tentang ada. Pembahasannya tidak jauh berbicara tentang apa yang dimaksud
“ada”, bagaimana klasifikasi “ada” dan sebagainya yang terkait hal “ada” secara
umum. Sedangkan “ada” secara khusus membahas segala sesuatu yang ada.
Ada di dunia ini, secara umum
semuanya adalah sesuatu yang sifatnya tidak kekal. Semua yang ada di dunia ini
yang terdeteksi oleh manusia senantiasa berubah, baik itu materinya atau pun
hanya bentuknya. Segala sesuatu memiliki permulaan dan akhir, dalam artian
mengalami proses dari “tidak ada” menjadi “ada” dan sebaliknya dari “ada”
menjadi “tidak ada”. Secara garis besar, “ada” ini dikelompokkan menjadi dua
yaitu manusia dan alam semesta. dalam filsafat, pembahasan mengenai alam
semesta dikenal dengan istilah kosmologi, terkait bagaimana proses
terjadinya alam, proses pergerakannya, konsep ruang dan waktu, dan lain-lain.
Adapun pembahasan tentang manusia dipecah menjadi beberapa bagian. Pertama
membahas tentang manusianya itu sendiri yang dikenal dengan antropologi. Kedua
adalah logika yang membahas tentang system dan pola pikir manusia, silogisme
dan sesat pikir. Ketiga adalah membahas tentang tingkah laku manusia, baik dan
buruk yang dikenal dengan etika. Selain itu, terkadang juga ditambahkan dengan
pembahasan terkait cerapan manusia dan keindahan yakni estetika.
Ketika segala sesuatu di dunia ini
bersifat kekal dan niscaya serta mengalami perubahan, maka apakah mungkin ada
sesuatu yang kekal dan niscaya serta tidak mengalami perubahan. Dengan kata
lain, adakah “ada” yang merupakan negasi dari semua “ada” yang terikat hukum
perubahan. Pemikiran tentang “ada” yang niscaya dan kekal ini menjadi cakupan
pembahasan filsafat dalam teologi. Awal mulanya, belum ada bahasa yang dapat
mengungkapkan “ada” yang niscaya ini. Beragam upaya pemikiran dan
pemahaman yang dilakukan manusia akan keberadaan “ada” niscaya ini. Diantaranya
pemahaman bahwa “ada” niscaya ini wajib adanya dan merupakan sebab awal
terjadinya alam semesta yang tidak terikat dari system dan aturan yang berlaku
dalam alam semesta. Ada yang beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini
menganut prinsip dualism, ketika ada siang maka harus ada malam begitu pun
ketika ada yang tidak niscaya maka harus ada yang niscaya. Selain itu, ada pula
yang beranggapan bahwa tidak ada “ada” niscaya di dunia ini, karena yang ada itu
hanyalah yang dapat tercerap oleh indra manusia. Bersamaan dengan beragamnya
pemikiran manusia terkait “ada” niscaya ini, timbul pula beragam bahasa yang
digunakan untuk menjelaskan “ada” niscaya ini. Ada yang menyebutnya nous, akal
budi, kebajikan, Tuhan dan lain lain.
Segala sesuatu terlahir atau muncul
disebabkan atau didorong oleh sebuah permasalahan. Sebuah ilmu pengetahuan
muncul atau lahir disebabkan oleh upaya untuk menyelesaikan sebuah
permasalahan. Keingintahuan adalah permasalahan utama semua manusia. Sejak
dilahirkan hingga dikuburkan, semua manusia ditimpa permasalahan keingintahuan.
Masalah keingintahuan manusia akan makhluk hidup menyebabkan lahirnya ilmu
biologi. Masalah keingintahuan manusia akan permasalahan social manusia
menyebabkan lahirnya ilmu sosiologi. Begitu pun dengan filsafat yang lahir
disebabkan upaya manusia untuk mengatasi masalah keingintahuannya terhadap
segala sesuatu secara luas dan mendalam.
Berdasarkan data sejarah, dapat
ditemukan berbagai macam karya buatan manusia sebagai dampak upaya mereka untuk
meyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Bahkan tidak jarang, karyanya selain
bermanfaat bagi dirinya dan orang di masanya juga bermanfaat bagi orang-orang
yang ada di masa selanjutnya. Misalnya, Socrates yang senantiasa berkeliling
dan berdiskusi untuk mengubah pola pikir orang-orang yang konservatif, mistis
dan hanya berpikir berlandaskan materi dan kekuasaan. Prinsip dan karya-karya
pemikiran mereka bahkan masih dipergunakan dan diadopsi hingga saat ini.
Beragam permasalahan menuntut
kemampuan manusia yang beragam pula dalam menyelesaikannya. Permasalahan yang
berbeda belum tentu dapat diselesaikan dengan metode yang sama, misalnya
permasalahan ekonomi belum tentu dapat diselesaikan dengan metode atau ilmu
sosiologi. Sebuah permasalahan pun belum tentu dapat diselesaikan dengan satu
atau dua metode dan sudut pandang, misalnya permasalahan pencurian sepeda
belum tentu dapat diselesaikan hanya dengan sudut pandang hukum tapi juga
membutuhkan sudut pandang lain seperti psikologi, ekonomi, social, budaya,
pendidikan dini, lingkungan, dan lain-lain. Penentukan sikap yang paling tepat
dan kecerdasan dalam mengambil putusan membutuhkan kemampuan melihat sebuah
permasalahan secara menyeluruh dan mendalam. Selain itu, dibutuhkan kemampuan
menentukan metode yang paling tepat dari semua metode yang ada untuk
menyelesaikan sebuah permasalahan. Kemampuan-kemampuan ini dapat diperoleh
dengan berfilsafat.
Referensi: