Jumat, 11 Januari 2013

PROBLEMATIKA ORANG BERFILSAFAT


Filsafat dikalangan masyarakat kebanyakaan seringkali diidentifikasi serta difahami sebagai sesuatu yang rumit,sulit, dan membingungkan bahkan menyesatkan!. Tidak berhenti disana, filsafat seringkali disimpan sebagai sesuatu yang hanya layak dan patut digeluti oleh orang-orang tertentu saja serta diidentikan dengan  orang-orang serius, pintar, memiliki IQ diatas rata-rata, berkacamata tebal atau dengan kata lain ranah filsafat adalah ranah eksklusif. Terlebih filsafat seringkali hanya dihadirkan untuk kalangan dan diperuntukan kaum akademis saja, yang dituturkan oleh para profesor-profesor lawas dengan sejumlah teori-teori rumit. Filsafat demikian menjadi semakin berjarak dan jauh dengan hakikat filsafat pada dirinya sendiri; mencintai kebenaran!.
dat nen geen flosofie, naar allean filosoferen noet leren” (“kita bukan harus belajar filsafat, melainkan berfilsafat”) kurang lebih demikian kata-kata yang seringkali dikatakan oleh seorang Immanuel Kant. Apa yang dikatakan oleh Sang Filsuf Jerman itu, kemudian dijabarkan oleh C.A. Van Peursen : bukan belajar pengetahuan historisnya, tetapi belajar menjadi seorang filsuf. Maksudnya, mempelajari filsafat tidak mesti terbatas hanya pada kajian macam-macam system filsafat yang pernah muncul di sepanjang sejarah dunia pemikiran, akan tetapi kita harus berpartisipasi dengannya, menceburkan diri kedalamnya. Kenikmatan, kepuasan dan gairah filsafat tidak akan pernah jatuh begitu saja dipangkuan kita tanpa berfilsafat. Dengan kata lain, tidak ada aturan bahkan larangan untuk berfilsafat. Tiap orang berhak berfilsafat!.
Problematika dalam kehidupan manusia akan selalu ada. Seiring bergulirnya waktu, beragam pula jenis-jenis permasalahan manusia. Berkembangnya peradaban, meningkatnya kemampuan teknologi, bertambahnya jumlah individu juga berdampak pada tumbuh berkembangnya problematika kehidupan. Banyaknya permasalahan  menyadarkan pentingnya kemampuan berfilsafat guna menyelesaikan permasalahan. Mengapa berfilsafat? Karena filsafat mengajarkan manusia untuk lebih bijaksana, cermat menentukan sikap dan cerdas dalam mengambil putusan. Kemampuan berfilsafat merupakan salah satu indicator utama seseorang dapat menentukan sikap terbaik dalam menyelesaikan sebuah problematika kehidupan.
Filsafat adalah pemikiran akan segala sesuatu yang ada secara luas dan mendalam. Berfilsafat berarti kegiatan memikirkan segala sesuatu yang ada secara luas dan mendalam. Secara luas maksudnya memikirkan segala sesuatu secara menyeluruh (komprehensif) dan objektif. Filsafat tidak memikirkan sesuatu secara terbatas pada satu atau dua sudut pandang melainkan dengan semua sudut pandang yang ada. Dengan memandang sebuah persoalan secara komprehensif dalam artian proses pengambilan keputusan dilakukan tanpa berpihak dan  objektif, maka kemungkinan untuk menentukan sikap terbaik semaik besar. Meskipun dalam realitanya sikap semacam ini agak mustahil dapat dilakukan, karena ketika seseorang hendak mengambil sebuah putusan maka ia akan dihadapkan pada keharusan menetukan posisi (standing point) yang niscaya subjektif. Akan tetapi, setidaknya dengan berpikir secara komprehensif dapat membantu seseorang untuk menentukan putusan yang terbaik dengan konsekuensi yang dapat ditanggung dirinya dan semua pihak.
Adapun berpikir secara mendalam, artinya memikirkan segala sesuatu hingga ke akar-akarnya (radikal) atau sampai permasalahan esensi dan substansinya. Filsafat tidak hanya memikirkan sesuatu sebatas permukaan yang nampak, namun juga hingga akar atau substansi sesuatu tersebut. Setiap problematika memiliki akar, sebab dan pokok persoalan. Dengan mengetahui akar sebuah permasalahan, maka kemungkinan untuk menyelesaikannya akan menjadi lebih mudah.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa filsafat adalah pemikiran akan segala sesuatu yang ada, maka objek material dari filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Pengertian “ada” menurut filsafat adalah “ada” secara indrawi,  “ada” yang masih dalam pikiran, dan “ada” yang berada dalam kemungkinan. Pengertian ini mengindikasikan bahwa tidak ada yang namanya “tidak ada” dalam hidup ini. Ketika seseorang menyatakan bahwa sesuatu itu tidak ada berdasarkan cerapan indrawinya, maka secara bersamaan sesuatu itu telah menjadi “ada” di pikiran orang tersebut. Dengan demikian, filsafat memiliki cakupan pembahasan yang sangat luas. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak ada yang tidak termasuk sebagai cakupan pembahasan filsafat.
Dalam filsafat, pembahasan “ada” dibagi menjadi dua, yaitu “ada” nya itu sendiri dan “ada” secara khusus yaitu segala sesuatu yang ada. Pembahasan mengenai “ada” nya itu sendiri secara umum, dikenal dengan istilah ontologi yang secara sederhana dapat diartikan ilmu tentang ada. Pembahasannya tidak jauh berbicara tentang apa yang dimaksud “ada”, bagaimana klasifikasi “ada” dan sebagainya yang terkait hal “ada” secara umum. Sedangkan “ada” secara khusus membahas segala sesuatu yang ada.
Ada di dunia ini, secara umum semuanya adalah sesuatu yang sifatnya tidak kekal. Semua yang ada di dunia ini yang terdeteksi oleh manusia senantiasa berubah, baik itu materinya atau pun hanya bentuknya. Segala sesuatu memiliki permulaan dan akhir, dalam artian mengalami proses dari “tidak ada” menjadi “ada” dan sebaliknya dari “ada” menjadi “tidak ada”. Secara garis besar, “ada” ini dikelompokkan menjadi dua yaitu manusia dan alam semesta. dalam filsafat, pembahasan mengenai alam semesta dikenal dengan istilah kosmologi,  terkait bagaimana proses terjadinya alam, proses pergerakannya, konsep ruang dan waktu, dan lain-lain. Adapun pembahasan tentang manusia dipecah menjadi beberapa bagian. Pertama membahas tentang manusianya itu sendiri yang dikenal dengan antropologi. Kedua adalah logika yang membahas tentang system dan pola pikir manusia, silogisme dan sesat pikir. Ketiga adalah membahas tentang tingkah laku manusia, baik dan buruk yang dikenal dengan etika. Selain itu, terkadang juga ditambahkan dengan pembahasan terkait cerapan manusia dan keindahan yakni estetika.
Ketika segala sesuatu di dunia ini bersifat kekal dan niscaya serta mengalami perubahan, maka apakah mungkin ada sesuatu yang kekal dan niscaya serta tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain, adakah “ada” yang merupakan negasi dari semua “ada” yang terikat hukum perubahan. Pemikiran tentang “ada” yang niscaya dan kekal ini menjadi cakupan pembahasan filsafat dalam teologi. Awal mulanya, belum ada bahasa yang dapat mengungkapkan “ada” yang niscaya ini. Beragam upaya pemikiran  dan  pemahaman yang dilakukan manusia akan keberadaan “ada” niscaya ini. Diantaranya pemahaman bahwa “ada” niscaya ini wajib adanya dan merupakan sebab awal terjadinya alam semesta yang tidak terikat dari system dan aturan yang berlaku dalam alam semesta. Ada yang beranggapan bahwa segala sesuatu di dunia ini menganut prinsip dualism, ketika ada siang maka harus ada malam begitu pun ketika ada yang tidak niscaya maka harus ada yang niscaya. Selain itu, ada pula yang beranggapan bahwa tidak ada “ada” niscaya di dunia ini, karena yang ada itu hanyalah yang dapat tercerap oleh indra manusia. Bersamaan dengan beragamnya pemikiran manusia terkait “ada” niscaya ini, timbul pula beragam bahasa yang digunakan untuk menjelaskan “ada” niscaya ini. Ada yang menyebutnya nous, akal budi, kebajikan, Tuhan dan lain lain.
Segala sesuatu terlahir atau muncul disebabkan atau didorong oleh sebuah permasalahan. Sebuah ilmu pengetahuan muncul atau lahir disebabkan oleh upaya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Keingintahuan adalah permasalahan utama semua manusia. Sejak dilahirkan hingga dikuburkan, semua manusia ditimpa permasalahan keingintahuan. Masalah keingintahuan manusia akan makhluk hidup menyebabkan lahirnya ilmu biologi. Masalah keingintahuan manusia akan permasalahan social manusia menyebabkan lahirnya ilmu sosiologi. Begitu pun dengan filsafat yang lahir disebabkan upaya manusia untuk mengatasi masalah keingintahuannya terhadap segala sesuatu secara luas dan mendalam.
Berdasarkan data sejarah, dapat ditemukan berbagai macam karya buatan manusia sebagai dampak upaya mereka untuk meyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Bahkan tidak jarang, karyanya selain bermanfaat bagi dirinya dan orang di masanya juga bermanfaat bagi orang-orang yang ada di masa selanjutnya. Misalnya, Socrates yang senantiasa berkeliling dan berdiskusi untuk mengubah pola pikir orang-orang yang konservatif, mistis dan hanya berpikir berlandaskan materi dan kekuasaan. Prinsip dan karya-karya pemikiran mereka bahkan masih dipergunakan dan diadopsi hingga saat ini.
Beragam permasalahan menuntut kemampuan manusia yang beragam pula dalam menyelesaikannya. Permasalahan yang berbeda belum tentu dapat diselesaikan dengan metode yang sama, misalnya permasalahan ekonomi belum tentu dapat diselesaikan dengan metode atau ilmu sosiologi. Sebuah permasalahan pun belum tentu dapat diselesaikan dengan satu atau dua metode dan sudut pandang, misalnya permasalahan  pencurian sepeda belum tentu dapat diselesaikan hanya dengan sudut pandang hukum tapi juga membutuhkan sudut pandang lain seperti psikologi, ekonomi, social, budaya, pendidikan dini, lingkungan, dan lain-lain. Penentukan sikap yang paling tepat dan kecerdasan dalam mengambil putusan membutuhkan kemampuan melihat sebuah permasalahan secara menyeluruh dan mendalam. Selain itu, dibutuhkan kemampuan menentukan metode yang paling tepat dari semua metode yang ada untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Kemampuan-kemampuan ini dapat diperoleh dengan berfilsafat. 

Referensi:

Mencari Jati Diri Dengan Menggapai Prestasi


Filsafat, apakah filsafat itu? Apakah  dengan berfilsafat orang bisa mencapai apa yang diinginkanya? Misalnya bagi seorang guru apakah filsafat dapat membuat anak didiknya memperoleh nilai 10 dalam matematika? Kattsoff (2004:3) mengatakan bahwa filsafat “tidak membuat roti”, filsafat tidak memberi petunjuk-petunjuk untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Filsafat tidak bisa secara langsung dapat memenuhi harapan-harapan tersebut, namun dengan mempelajari filsafat diharapkan dapat memahami segala sesuatu secara baik, secara proposional, pengetahuan semakin bertambah, dapat berpikir secara arif dan bijaksana, yang pada akhirnya menuntun kita untuk bertindak dengan lebih baik.
            Secara sederhana tujuan filsafat ialah mengumpulkan pengetahuan manusia sebanyak mungkin, dan mengatur semua itu dalam bentuk yang sistematis. Filsafat membawa manusia pada pemahaman dan pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih baik, (Kattsoff, 2004: 3). Filsafat merupakan suatu analisa secara hati-hati terhadap penalaran-penalaran suatu masalah dan penyusunan secara sengaja serta sistematis atas suatu sudut pandangan yang menjadi dasar suatu tindakan, (Kattsoff, 2003: 4). Selanjutnya ia menamakan kegiatan filsafat itu sesungguhnya merupakan perenungan atau pemikiran. Namun tidak semua kegiatan perenungan dan pemikiran bisa dikatakan filsafat, Kattsoff mengatakan ‘perenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia maupun untuk memahami diri kita sendiri.
Kemajuan bangsa ini dapat direfleksikan pada sudah sejauh mana siswa-siswi yang ada di Indonesia mau berprestasi. Banyak sekali keberhasilan yang dicapai oleh seseorang berawal dari mimpi-mimpi yang besar lalu diwujudkan dalam langkah yang nyata, dimulai dari hal kecil hingga terakumulasi menjadi langkah yang besar dan dicapailah suatu prestasi yang spektakuler.
Berbagai upaya untuk mencapai prestasi dapat dilakukan dengan cara-cara sebagaimana dikemukakan oleh Sujiyanto yaitu :
1. Kreatif dan inovatif
Kreatif dan inovativ merupakan upaya memiliki daya cipta, dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu hal. Sedangkan inovatif berarti memperkenalkan sesuatu yang baru bersifat pembaharuan, upaya berprestasi dengan cara memperbarui atau menyempurnakan metode, sistem, atau strategi yang ada menjadi lebih sesuai atau relevan dengan perkembangan jaman. Ciri-cirinya antara lain peka terhadap lingkungan, dinamis dan progresif, serta terbuka.
2. Tanggung-jawab
Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyelesaikan tugas yang diterimanya dengan sebaik mungkin.. Seseorang yang bertanggungjawab akan dapat berprestasi dengan baik karena dia telah menyelesaikan kewajibannya dengan baik sesuai yang telah disepakati sebelumnya. Tanggung- jawab tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada masyarakat dan yang paling tinggi pada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Bekerja keras
Orang yang suka bekerja keras disayang Tuhan, kalian tentu ingat “beribadahlah kamu seolah akan mati esok hari dan bekerjalah dengan keras seolah kamu akan hidup 1000 tahun lagi.” Ini berarti setiap orang akan serius dalam mengerjakan sesuatu. Akan mengoptimalkan seluruh daya dan upaya demi tercapainya suatu prestasi diri dengan bekerja keras.
Kesuksesan yang tidak disertai dengan ketahanan mental akan menjadi kesuksesan yang rapuh fondasinya.Untuk itu ketahanan mental harus kita tempa dan kita tanamkan sejak kita mulai perjuangan dengan cara memelihara spirit sebagai manusia pembelajar yang sejati, selalu berdoa, selalu mengucap syukur dan bermeditasi.
4. Memanfaatkan Sumber Daya
Walaupun manusia sebagai mahluk yang paling sempurna di dunia ini tetapi tidak dapat hidup sendiri, melainkan tetap membutuhkan sumber daya yang ada di sekitarnya. Memanfaatkan sumber daya alam dan bekerjasama dengan manusia lainnya demi tercapainya tujuan.

INTUISI MATEMATIKA


Intuisi adalah sebuah kata yang hampir semua orang pernah mengatakannya. Dalam kehidupan sehari-hari, orang sering menggunakan kata intuisi. Ada yang memaknai intuisi sebagai angan-angan atau imajinasi, ada yang mengartikan intuisi sebagai perasaan, ada yang menyatakan bahwa intuisi serupa dengan feeling, dan banyak lagi pengertian intuisi yang dapat ditelusuri dalam percakapan kita sehari-hari dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, intuisi dipahami secara beragam dan tidak ada kesepakatan umum terhadap pengertian intuisi tersebut.
Sejak dahulu, para ahli memandang istilah intuisi dengan pandangan berbeda. Dalam literatur yang ditelusuri penulis, terlihat bahwa para filosof dan para psikolog juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap intuisi. Para ahli filsafat memandang intuisi sebagai rasional dan superior terhadap berpikir analitik, beberapa ahli filsafat memandang intuisi bersifat tidak pernah salah (infallible). Ahli filsafat; Bergson (Henden.G, 2004) membedakan antara intuisi dengan penalaran analitik. Menurutnya, kedua istilah tersebut tidak memiliki sistem kognitif yang berbeda, tapi merupakan dua sisi dalam aktivitas berpikir.  Dalam bidang psikologi, psikolog Jung menyatakan bahwa intuisi adalah salah satu fungsi kognitif diantara tiga fungsi lainnya, yaitu: thinking, feeling, dan sensation (Henden.G, 2004). Beberapa ahli psikologi memandang intuisi berfungsi paralel dengan berpikir analitik dan hasil intuisi bisa saja salah. Demikian pula diantara para ahli terdapat perbedaan pandangan terhadap intuisi; ada yang memandang intuisi sebagai produk dari pengalaman dan penalaran, sedangkan ahli-ahli lainnya berpendapat bahwa intuisi bukan produk dari pengalaman dan/atau dipandang sebagai penalaran yang sifatnya implisit (berfungsi tanpa disadari oleh orang yang melakukannya). Dalam Zeev dan Star (2002), ahli matematika, Hadamard, menyatakan bahwa intuisi merupakan cara untuk memahami bukti dan konseptualisasi.
Perlu diperhatikan bahwa tidak semua kognisi segera merupakan intuisi. Persepsi merupakan aktivitas mental yang juga berlangsung segera. Sebagai contoh, seseorang dengan segera dapat menyimpulkan bahwa meja-meja didepannya berbeda ukurannya, berbeda warnanya, atau berbeda bentuknya. Ini adalah persepsi seseorang terhadap meja-meja tersebut. Contoh lainnya, bilamana diberikan dua garis berpotongan, seseorang dengan segera menyimpulkan bahwa sudut-sudut yang bertolak belakang pada garis yang berpotongan tersebut sama besar. Ini adalah persepsi orang tersebut terhadap besar sudut bertolak belakang pada garis berpotongan yang disajikan padanya. Persepsi adalah aktivitas mental untuk menghasilkan representasi atau interpretasi yang didasarkan pada penggunaan alat indera.
Pada sisi lain, meskipun sifat “segera” (immediacy) merupakan artribut untuk menunjukkan berlangsungnya intuisi seseorang, beberapa ahli psikologi seperti Babay, Levyadun, Stavy dan Tirosh (2006) menyatakan bahwa dalam konteks sains dan matematika, sejauh ini belum ada alat ukur empiris untuk mengukur sifat “segera” respon intuitif (so far no empirical measurement of the immediacy of intuitive responses has been carried out in the context of science and mathematics). Oleh karena itu, sangat sulit membuktikan bahwa seseorang menggunakan intuisi bilamana artribut ini (sifat immediacy dari intuisi) harus diukur untuk dijadikan salah satu dasar atau kriteria berlangsungnya intuisi seseorang.

Referensi:

Filsafat Menembus Ruang dan Waktu


Menembus ruang dan waktu itu bisa mudah dan sulit. Siapapun dan apapun pasti dapat menembus ruang dan waktu. Tidak hanya manusia yang dapat menembus ruang dan waktu, akan tetapi hewan, tumbuhan dan batu pun bisa menembus ruang dan waktu. Dari hal yang mudah misalkan pada saat kita tidur dari ssetelah kita sembayang magrib tidak terasa saat bangun waktu sudah pagi dan karena secara tak sadar bahwa ruang dan waktu telah berubah. Batu dapat dikatakan menembus ruang dan waktu dengan sulitnya karena batu mengalami masa lampau sampai sekarang dengan harus mengalami pergantian musim yang terus-menerus. Selain hal-hal di atas, kesempatan itu juga menembus ruang dan waktu karena waktu yang kita gunakan sekarang dengan waktu yang akan datang sudah berbeda dimensi ruang dan waktunya. Menembus ruang dan waktu itu berdimensi ada dan mungkin ada.
Objek filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada, dimana kita bisa mencari yang mungkin ada. Misalnya adalah kita tidak mengetahui nama cucu Bapak Marsigit, apakah kita ingin tahu namanya? Jika kita belum tahu namanya maka nama itu masih mungkin ada di dalam pikiran kita. Namun setelah kita tahu namanya, maka nama cucu beliau menjadi ada dalam pikiran kita. Segala yang belum kita ketahui itu sifatnya masih mungkin, sedangkan yang kita ketahui itu sifatnya sudah ada.
Alat yang dipakai untuk belajar filsafat adalah bahasa, namun tidak sembarang bahasa yang dipakai adalah bahasa analog. Analog itu tidak sekedar kiasan, kiasan itu jika diturunkan lagi bentuk operasionalnya menjadi sindiran, jika sindiran, itu sudah bermuatan negatif.
Kita sebagai manusia dapat menciptakan ruang sendiri. Kita dapat memahami ruang dimensi satu, dua karena sebagai orang dewasa, kita menggunakan intuisi sedangkan anak-anak menggunakan definisi sehingga tidak dapat memahaminya. Kita juga dapat memahami ruang dimensi satu karena kita mempunyai ruang dimensi dua, memahami ruang dimensi dua karena mempunyai ruang dimensi tiga dan seterusnya.  Secara umum, ruang dimensi tiga merupakan bangun ruang, dimensi dua merupakan bangun datar, maka kita dapat membayangkan ruang dimensi satu, empat dan sebagainya. Orang matematika dapat memahami hingga ruang dimensi-n karena mereka menggunakan intuisi. Kemudian dikembangkan lagi sehingga kita mempunyai ruang kaum kapitalis, dimana hierarki dari bawah yaitu : ruang archaik, tribal, tradisional, teodal, modern, pos modern dan pos pos modern atau kapitalis.
Analog dari hati adalah spiritual. Setingi-tinggi ilmumu, secanggih-canggihnya teknologimu jangan sampai kita belajar filsafat yang dimana itu menggoyahkan imanmu. Musuh dari filsafat adalah salah paham, maka dalam pembelajaran filsafat harus dengan banyak bercerita supaya kita paham. Sebagai saran, jika kita ingin berfisafat satu maka berspiritualah sepuluh, jika ingin berfilsafat dua maka berdoalah dua puluh, dst. Hal ini supaya sejauh-jauhnya kita menggembara filsafat harus tetap bisa kembali. Sekali kita tidak bisa kembali maka selamanya juga kita tidak bisa kembali.